HAKIKAT RIZQI ADALAH NIKMAT YANG DIRASA BUKAN SOAL BERAPA.


Rizki telah selesai telah tertulis di langit. Hendak diambil dari jalan manapun hanya itulah yg menjadi jatah kita. Rizqi adalah ketetapan Allah. Cara menjemputnya adalah ujian. Ujian yang menentukan rasa kehidupan. Sebab rasa yang paling terindra dalam kehidupan kita di dunia. Rizki memiliki tempat dan waktu bagi turunnya. Ia tak pernah terlambat dan hadir di saat yang tepat.


Janganlah kalian merasa bahwa rizqi kalian datangnya terlambat. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba meninggal, hingga telah datang kepadanya rizqi terakhir yang ditetapkan untuknya. Maka tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi, yaitu dengan yang halal dan meninggalkan yang haram.” (HR Imam ‘Abdur Razzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim)

Jika jodoh adalah bagian dari rizqi, boleh jadi berlaku pula kaidah yang sama. Sosok itu telah tertulis namanya. Tiada tertukar, dan tiada salah tanggal. Tetapi rasa kebersamaan, akan ditentukan oleh bagaimana adab dalam mengambilnya. Bagi mereka yang menjaga kesucian, penuh keridhaan ikhlas menanti saat rizkinya hadir ada kenikmatan di dalamnya. Bagi mereka yang mencemarinya dengan hal-hal yg tak patut dengan mendekati zina , ada kenikmatan yang kan hilang saat jodoh telah di dapatkan. Sebab amat berbeda, yang dihulurkan penuh keridhaan, dibanding yang dilemparkan penuh kemurkaan.

MAKNA RIZQI .

Makna Rizki adalah segala yang keluar masuk bagi diri dengan anugerah manfaat. Nikmat adalah rasa yang bisa dirasakan. Kasur empuk bisa dibeli, tapi tidur yg nyenyak adalah rizqi, bisa saja Ia karuniai di atas alas koran bukan di ranjang empuk. Makanan yg mahal dapat dibeli, tapi lezatnya makan adalah rizqi. Ia bisa saja dikarunia di wadah daun pisang, bukan di piring emas.

Atau bahkan, ada yang memandang seseorang tampak kaya raya, tapi sebenarnya Allah telah mulai membatasi rizqinya. Ada yang bergaji 100 juta rupiah setiap bulannya, tapi tentu rizqinya tak sebanyak itu. Sebab ketika hendak meminum yang segar manis dan mengudap yang kue yang legit, segera dikatakan padanya, “Awas Pak, kadar gulanya!” Ketika hendak menikmati hidangan gurih dengan santan mlekoh dan dedagingan yang lembut, cepat-cepat diingatkan akannya, “Awas Pak, kolesterolnya!” Hatta ketika sup terasa hambar dan garam terlihat begitu menggoda, bergegaslah ada yang menegurnya, “Awas Pak, tekanan darahnya!” Rasa nikmat itu telah dikurangi. Lagi-lagi, ini soal rasa.

Dan uang yang dia himpunkan dari kerja kerasnya, amat banyak angka nol di belakang bilangan utama, disimpan rapi di Bank yang sangat menjaga rahasia, jika dia mati esok pagi, jadi rizqi siapakah kiranya? Apa yang kita dapat dari kerja tangan kita sendiri dan kita genggam erat hari ini, amat mungkin bukan hak kita. Seperti hartawan yang mati meninggalkan simpanan bertimbun. Mungkin itu mengalir ke ahli warisnya, atau bahkan musuhnya. Allah tak kekurangan cara untuk mengantar apa yang telah ditetapkanNya pada siapa yang dikehendakiNya. Rizqi sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka gaji.

Seorang pemilik jejaring rumah makan dari sebuah kota besar Pulau Jawa, demikian cerita shahibul hikayat yang kami percaya, dengan penghasilan yang besarnya mencengangkan, punya kebiasaan yang sungguh lebih membuat terkesima. Sepanjang hidupnya, tak pernah dia bisa berbaring di kasur, apalagi ranjang berpegas. Dia hanya bisa beristirahat jika menggelar tikar di atas lantai dingin, tepat di depan pintu. Rizqi sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli.

Ada lagi kisah tentang seorang pemilik saham terbesar sebuah maskapai penerbangan yang terhitung raksasa di dunia. Armada pesawat yang dijalankan perusahaannya lebih dari 100 jumlahnya. Tetapi dia menderita hyperphobia, yakni rasa takut terhadap ketinggian. Seumur hidupnya, yang bersangkutan tak pernah berani naik pesawat. Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dikuasai.

Sebaliknya pula, ada seorang lelaki bersahaja yang tidak mampu membeli mobil sepanjang hidupnya. Tapi sungguh Allah telah menetapkan bahwa rizqinya adalah naik mobil ke mana-mana. Maka para tetangga selalu berkata bergiliran padanya, “Mas, tolong hari ini pakai mobil saya untuk kegiatannya ya. Saya senang kalau Mas yang pakai. Sungguh karenanya terasa ada berkah buat kami sekeluarga.” Dan pemilik mobil pergi bekerja ke kantornya dengan mengayuh sepeda. Sebab itulah yang disarankan dokter padanya. Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dimiliki.

ALLAH PEMBERI RIZQI
Dzat Yang Mencipta kita, sekaligus menjamin rizqi bagi penghidupan kita, adalah Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur segala urusan kita. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiada sekutu bagiNya. Maka bagaimana kiranya, jika anugrah dariNya justru kita gunakan untuk mendurhakaiNya? Maka apa jadinya, jika dengan karuniaNya kita malah tenggelam dalam maksiat dan dosa? “Sesungguhnya seseorang dihalangi dari rizqinya, disebabkan dosa yang dilakukannya.”(HR Imam Ahmad)

Ada beberapa keterangan ‘ulama tentang dosa menghalangi rizqi ini, yang selaiknya kita simak. Pertama, bahwa memang yang bersangkutan terhalang dari rizqinya, hingga ke bentuk zhahir rizqi itu. Ini sebagaimana firman Allah tentang dakwah Nuh pada kaumnya. “Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan di dalamnya sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12)

Maknanya menurut Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil ‘Azhim, “Jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa mentaatiNya, niscaya Dia akan membanyakkan rizqi kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit. Selain itu Dia juga akan mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya terdapat bermacam-macam buah untuk kalian, serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu untuk kalian.”

Jika bertaubat menjadikan berlimpahnya bentuk rizqi, maka berdosa berarti membatalkan semua itu. Ini pemahaman pembalikannya. Kedua, bahwasanya yang dihalangi dari si pendosa adalah rasa nikmat yang dikaruniakan Allah dari berbagai bentuk rizqi tersebut. Rizqi tetap hadir, tapi rasa nikmatnya dicabut. Rizqi tetap turun, tapi rasa lezatnya dihilangkan. “Maka Karena dosa yang menodai hatinya, hamba tersebut kehilangan kepekaan untuk menikmati rizqinya dan mensyukuri nikmatnya. Dan ini adalah musibah yang sangat besar.” (Imam An Nawawi)

Hujjah bahwa semua bentuk rizqi itu tetap turun, Rasulullah berkata, “Sesungguhnya Jibril mengilhamkan ke dalam hatiku. Bahwa tidak ada satu pun jiwa yang meninggal kecuali telah sempurna rezekinya. maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mencari rezeki. Jangan sampai lambatnya rezeki menyeret kalian untuk mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada pada sisi Allah tidak akan bisa diperoleh dengan bermaksiat kepada-Nya.” (HR Baihaqi)

“Apa yang ada di sisi Allah adalah ridhaNya yang menjadikan rizqi itu ternikmati di dunia, berkah senantiasa, dan menjadi pahala di akhirat. Maka memang ia tak dapat diraih dengan kemaksiatan dan dosa.” (Imam An Nawawi) “Adapun ayat dalam Surah Nuh”, terusnya, “Khithab da’wahnya ditujukan kepada orang kafir, yang meskipun mereka mengingkari Allah dan menyekutukanNya, tapi Allah tidak memutus rizqi mereka secara mutlak. Akan tetapi, jika mereka beristighfar dan bertaubat, sesungguhnya karunia yang lebih besar pastilah Allah limpahkan.” Menghimpun kedua catatan ini, amat jadi renungan sebuah kisah tentang Imam Hasan Al Bashri.


Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada beliau. “Sesungguhnya aku”, ujarnya pada Tabi’in agung dari Bashrah itu, “Melakukan banyak dosa. Tapi ternyata rizqiku tetap lancar-lancar saja. Bahkan lebih banyak dari sebelumnya.”Sang Imam tersenyum prihatin. Beliau lalu bertanya, “Apakah semalam engkau qiyamullail wahai Saudara?”“Tidak”, jawabnya heran.“Sesungguhnya jika Allah langsung menghukum semua makhluq yang berdosa dengan memutus rizqinya”, jelas Hasan Al Bashri, “Niscaya semua manusia di bumi ini sudah habis binasa. Sungguh dunia ini tak berharga di sisi Allah walau sehelai sayap nyamukpun, maka Allah tetap memberikan rizqi bahkan pada orang-orang yang kufur kepadaNya.”“Adapun kita orang mukmin”, demikian sambung beliau, “Hukuman atas dosa adalah terputusnya kemesraan dengan Allah, Subhanahu wa Ta’ala.”
Semoga Allah melimpahkan rizqiNya kepada kita, dan menjaga kita dari bermaksiat padaNya. Dengan begitu, sempurnalah datangnya nikmat itu dengan kemampuan kita menikmati rasa lezatnya, lembutnya, dan harumnya. Di lapis-lapis keberkahan, soal rasa adalah terjaganya kita dari dosa-dosa.

Kutipan dari buku Lapis-lapis Keberkahan, Salim A Fillah




Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "HAKIKAT RIZQI ADALAH NIKMAT YANG DIRASA BUKAN SOAL BERAPA."